Senin, 18 Mei 2015

JALUR MATI JOGJA - PALBAPANG

JALUR MATI JOGJA-PALBAPANG: NASIBMU KINI

             Berbicara mengenai Kota Jogjakarta pasti tidak akan pernah ada habisnya, apalagi jika dikaitkan dengan sejarah, budaya dan peninggalan-peninggalan masa lalunya. Salah satu sejarah yang yang menarik untuk digali di kota ini adalah sejarah keberadaan alat transportasi kereta api yang sudah ada sejak era kolonialisme. Predikat Jogja sebagai kota perdagangan dan pusat pemerintah pada masanya membuat Pemerintah Hindia Belanda membangun jaringan transportasi berbasis kereta api di kota tersebut. Tercatat ada beberapa jalur kereta api yang terhubung ke Jogjakarta, yakni: Magelang-Jogjakarta, Solo-Jogjakarta, Purworejo-Jogjakarta, Sewugalur-Jogjakarta, dan Pundong– Ngabean -Jogjakarta. Semua jalur tersebut dibangun sebagai sarana distribusi perdagangan dan hasil industri serta mobilitas masyarakat pada masanya.
            Pada kesempatan kali ini saya berkesempatan untuk menjelajahi peninggalan kereta api di Kota Jogjakarta, khususnya jalur kereta api sepanjang Jogja hingga Palbapang Bantul.Jika melihat sejarahnya, jalur Jogja – Bantul-Sewugalur Kulon Progo dimulai pembangunannya secara bertahap pada tahun 1895 dan pada tahun 1915 oleh perusahaan swasta kereta api Hindia Belanda NIS. Pembangunan jalur ini selain untuk transportasi masyarakat juga ditujukan untuk angkutan komoditi pertanian dan angkutan pabrik gula yang pada kala itu banyak bermunculan diwilayah Jogjakarta. Seiring berjalannya waktu dan masuknya Jepang di Indonesia, banyak jalur kereta api di wilayah Jogjakarta yang di preteli oleh pemerintah Jepang untuk dipindah ke daerah lain seperti di Saketi, Bayah dan Burma yang mengambil jalur kereta dari Ngabean – Pundong dan Palbapang – Sewugalur.
            Setelah Indonesia merdeka, jalur kereta api dari Jogjakarta hingga Palbapang masih digunakan untuk angkutan penumpang oleh masyarakat. Namun seiring dengan berjalannya waktu dan berkembangnya moda transportasi jalan raya, kereta api mulai ditinggalkan oleh masyarakat karena kecepatannya yang lambat dan kurang fleksibel. Akhirnya pada tahun 1973 jalur kereta api dari Jogjakarta menuju Palbapang resmi ditutup oleh pemerintah karena menurunnya jumlah okupansi penumpang. Kini sisa-sisa infrastruktur kereta api dijalur tersebut masih bisa kita saksikan meskipun dengan kondisi yang memprihatinkan.


Peta Jalur Kereta di Bantul dan Kotagede Tahun 1921
Sumber: kitlv.nl

Stasiun Tugu Yogyakarta Tahun 1890
Sumber: kitlv.nl

            Blusukan saya kali ini saya lakukan pada hari Kamis tanggal 14 Mei 2015 bertepatan dengan hari libur nasional. Saya mulai berangkat dari Kota Solo kurang lebih pukul setengah tujuh pagi. Kurang lebih satu setengah jam perjalanan, akhirnya perjalanan saya tiba di Kota Jogjakarta. Blusukan saya di Jogja kali ini sebenarnya akan saya bagi kedalam tiga tahap, yaitu: tahap pertama dari Jogja hingga Palbapang, tahap kedua dari Palbapang hingga Sewugalur, dan tahap ketiga dari Ngabean hingga Pundong. Akan tetapi karena terbatasnya waktu dan berdasarkan informasi yang saya peroleh bahwa bekas jalur kereta yang masih tersisa hanyalah di petak Jogja-Palbapang, maka saya hanya melakukan blusukan di jalur tersebut saja.
            Sebagai informasi ada beberapa jalur non aktif kereta api yang ada di Jogjakarta. Jalur pertama adalah jalur dari Kota Jogjakarta hingga Palbapang Bantul. Dijalur ini terdapat beberapa stasiun terhubung diantaranya adalah: Stasiun Tugu – Stasiun Ngabean – Stasiun Dongkelan – Stasiun Winongo – Stasiun/Halte Cepit – Stasiun Bantul – Stasiun Palbapang. Jalur kedua adalah percabangan dari Ngabean hingga Pundong. Dijalur ini terdapat beberapa stasiun terhubung diantaranya adalah: Stasiun Ngabean – Stasiun Timuran – Halte Sidikan – Stasiun Pasar Gede/Basen – Halte Kuncen – Halte Bintaran – Halte Wonokromo – Halte Ngentak – Halte Jetis – Halte Barongan – Halte Patalan – Stasiun Pundong. Untuk jalur ini sudah tidak bersisa karena pada masa pendudukan Jepang telah dipreteli untuk dibangaun diwilayah lain. Yang tersisa kini hanyalah beberapa pondasi jembatan dan bekas jalur keretanya saja.Jalur ketiga atau yang terakhir adalah dari Palbapang hingga Sewugalur di Kulon Progo. Di jalur ini terdapat beberapa stasiun terhubung diantaranya adalah: Stasiun Palbapang – Stasiun Bajang - Stasiun Batikan – Stasiun Pekoja – Stasiun Mangiran – Stasiun Srandakan – Stasiun Brosot – Stasiun Pasar Kranggan – Stasiun Sewugalur. Nasib jalur ini sama seperti jalur Ngabean-Pundong yang dipreteli oleh pemerintah Jepang.
Tujuan saya yang pertamadalam blusukan kali ini adalah Stasiun Tugu atau Stasiun Jogjakarta sebagai titik strart yang merupakan titik percabangan jalur kereta api menuju Ngabean. Disekitar area Stasiun Tugu, saya sudah tidak bisa menemukan bekas percabangan jalur kereta menuju Stasiun Ngabean.Perkiraan saya, bekas rel telah terkubur oleh aspal jalan raya karena menurut peta yang saya peroleh jalur tersebut berada di pinggir jalan.

Bergerak meninggalkan area Stasiun Tugu, saya menuju Jalan Letjen Suprapto sambil berjalan pelan. Disini awalnya saya tidak mejumpai hal-hal yang berbau dengan kereta api. Akhirnya saya putuskan untuk berhenti sejenak sambil memperhatikan lingkungan sekitar.Tak disengaja, disamping saya ternyata ada bekas tiang listrik yang menggunakan bekas rel kereta yang berdiri kokoh didepan SD Gedong Tengen.

Tiang Listrik dari Bekas Rel Kereta di Jalan Letjen Soeprapto

Saya pun kembali melanjutkan perjalanan dengan pelan-pelan siapa tahu akan menemukan petunjuk berikutnya. Beberapa meter bergerak saya menjumpai patok kecil dari potongan rel kereta api yang tertancap di mulut gang. Semakin penasaran, perjalanan saya lanjutkan.Tepat didepan sebuah bengkel saya menjumpai sebuah tiang sinyal masuk stasiun yang masih tertancap di trotoar pinggir jalan.Kondisi tiang sinyal sendiri tidak begitu terlihat karena tertutup oleh rimbunnya pepohonan yang berdiri disampingnya.
Tiang sinyal ini terletak tidak jauh dari perempatan Ngabean.Dugaan saya bahwa Stasiun Ngabean sudah tidak jauh lagi.Sayapun segera tancap gas menuju Stasiun Ngabean.Sesampainya di Ngabean saya agak bingung karena ada sebuah bangunan tempat parkir bertingkat yang sangat kontras.Setelah berputar ternyata bangunan bekas Stasiun Ngabean sendiri terletak dibelakang bangunan tempat parkir tersebut.Berpura-pura sebagai wisatawan, sayapun menjelajahi bangunan bekas Stasiun Ngabean yang kini telah berubah menjadi pangkalan angkot “siTole”.

Bekas Patok Milik PT. KAI

Bekas Tiang Sinyal di Jalan Letjen Soeprapto

            Tidaklah mudah bagi saya untuk menjelajahi bekas bangunan Stasiun Ngabean.Bekas bangunan stasiun yang ramai oleh aktivitas driver “si Tole” membuat blusukan saya terbatas.Selain itu bangunan stasiun yang dikelilingi dengan pohon-pohon yang rindang memberikan kesulitan tersendiri bagi saya untuk mengambil gambar.Bahkan saya harus sembunyi-sembunyi untuk mengambil gambar agar tidak menimbulkan kecurigaan. Dihalaman stasiun, kita masih bisa menyaksikan bekas rel kereta dengan tiga roda kereta api yang mungkin sengaja di tinggalkan sebagai monumen bahwa dulu ditempat tersebut pernah dilalui kereta api. Secara keseluruhan bangunan Stasiun Ngabean masih terawat dengan baik dengan masih mempertahankan keasliannya, termasuk lantai emplasemen stasiun.
            Stasiun Ngabean dibangun pada tahun 1895.Dulu di stasiun ini terdapat percabangan jalur menuju Pundong. Jalur tersebut unik karena memiliki gauge 1.435 mm. Selama tiga tahun pendudukan Jepang, jalur menuju Pundong dicabut dan dipindah di daerah Saketi-Bayah. Stasiun Ngabean sendiri ditutup oleh pemerintah pada tahun 1973 karena menurunnya jumlah okupansi penumpang.


Bekas Roda Kereta di Emplasemen Stasiun Ngabean

Emplasemen Stasiun Ngabean

            Puas menjelajahi bekas Stasiun Ngabean, perjalanan saya lanjutkan kearah selatan melalui Jalan Wahid Hasyim untuk mencari bekas Stasiun Dongkelan. Sembari berjalan pelan mata saya terus memperhatikan kondisi sekitar, siapa tahu ada bekas keberadaan infrastruktur kereta api yang masih bisa saya temui. Sebenarnya posisi saya saat itu agak kurang menguntungkan.Bekas jalur yang ada disebelah kanan jalan sementara posisi saya berada sebelah di kiri jalan memberikan kesulitan tersendiri bagi saya. Ditambah lagi dengan kondisi lalu lintas yang ramai karena masa liburan memaksa penglihatan saya untuk jeli menemukan bekas jalur kereta api.
            Perjalanan saya mendadak terhenti.Saya melihat sesuatu yang aneh di seberang jalan tepatnya dibelakang sebuah warung tertutup rimbunnya pepohonan. Saya segera putar arah dan memarkirkan motor saya dipinggir jalan. Tanpa pikir panjang saya segera masuk kepekarangan rumah warga.Ternyata saya berhasil menemukan lagi bekas sinyal Stasiun Ngabean.Posisinya sangat tersembunyi. Jika saya tidak teliti mungkin saya akan melewatkannya. Tak jauh dari sana, disebuah gang saya juga menemukan bekas rel kereta yang sudah tersamarkan oleh jalan paving. Lokasinyapun juga agak tersembunyi dari jalan raya.

Bekas Sinyal Stasiun Ngabean

Bekas Rel dari Ngabean Menuju Dongkelan

            Terus melanjutkan perjalanan, akhirnya saya tiba di Jalan Bantul.Dipinggir jalan tepatnya disebelah kanan jalan, saya banyak menjumpai bekas rel membentang disepanjang jalan.Kondisi rel banyak yang tertimbun tanah dan trotoar jalan. Dibeberapa titik juga terdapat patok-patok penanda bekas jalur kereta api milik PT. KAI yang terbuat dari potongan besi rel kereta.

Bekas Rel di Jalan Bantul

            Tak terasa perjalanan saya sampai di Stasiun Dongkelan. Stasiun ini lokasinya berada di samping Jalan Raya Bantul atau tepatnya di Kelurahan Kedungkiwo Kecamatan Mantrijeron depan Pasty (Pasar Satwa dan Tanaman Hias Yogyakarta). Bentuk bangunannya yang antik sepintas menyerupai bangunan halte bus, akan tetapi kini bangunan bekas Stasiun Dongkelan digunakan untuk rumah makan. Bangunan stasiun sendiri masih nampak terawat dengan baik.
            Stasiun Dongkelan dibangun oleh NIS pada tahun 1895 bersamaan dengan pembangunan jalur dari Jogja hingga Sewugalur.Sebenarnya bangunan stasiun sendiri sudah tidak asli, melainkan hanya bangunan replika saja karena Stasiun Dongkelan pernah mengalami kebakaran yang menghanguskan seluruh bangunannya.Stasiun ini resmi ditutup oleh pemerintah pada tahun 1973 bersamaan dengan di tutupnya jalur dari Jogja hingga Palbapang karena menurunnya jumlah okupansi penumpang.

Bekas Bangunan Stasiun Dongkelan

            Hari semakin panas, sayapun segera tancap gas menuju lokasi stasiun berikutnya yaitu Stasiun Winongo. Menurut referensi yang saya dapatkan lokasi Stasiun Winongo berada dekat dengan Pabrik Gula Madukismo.Hal ini terjadi karena pada zaman dahulu PG Madukismo terkoneksi dengan Stasiun Winongo untuk memudahkan aliran distribusi pabrik. Hal ini sama seperti pabrik gula ditempat lain yang terkoneksi dengan jalur kereta api.Ternyata tidaklah mudah menemukan lokasi Stasiun Winongo.Saya sempat kebingunan saat berada di daerah Kweni Bantul.Posisi jalur yang berada diseberang jalan membuat saya harus jeli melihat arah jalur rel.Karena tidak kunjung menemukan petunjuk akhirnya saya berputar arah.Saat berputar arah inilah saya mulai menemukan petunjuk.Ternyata jalur kereta berbelok masuk ke dalam perkampungan warga.
            Saya pun mencoba masuk kedalam sebuah gang di daerah Kweni yang menurut saya dulu adalah bekas jalur kereta api. Sudut belokan yang ada di gang tersebut pun mirip dengan jalur kereta api. Semakin lama saya semakin merangsek masuk kedalam perkampungan warga.Bekas rel yang sudah tidak ada serta kondisi perkampungan yang sepi dan sunyi menjadi tantangan tersendiri bagi saya.Sampailah saya disebuah jembatan desa yang melintang diatas sungai yang cukup besar. Ternyata jembatan tersebut terbuat dari bekas jembatan keretaapi yang sudah di cor. Jembatan yang saya lewati ini sebenarnya cukup berbahaya dari segi keamanan, karena jembatan ini dulunya ditujukan hanya untuk kereta api bukan untuk kendaraan umum seperti motor. Lebarnya yang sempit serta tidak adanya pembatas di sebelah kiri dan kanan jembatan membuat saya merinding saat melewatinya.Bahkan jembatan ini hanya bisa dilalui oleh satu kendaraan saja. Jika dari lawan arah ada kendaraan lain yang ingin menyebrang maka harus antri terlebih dahulu.
            Setelah berhasil menyeberangi jembatan dengan selamat, tibalah saya di sebuah perkampungan yang tidak kalah sepinya dengan kampung sebelumnya. Terus berjalan akhirnya saya menemukan bangunan rumah dinas Stasiun Winongo. Saya pun berhenti sejenak sambil memperhatikan lingkungan sekitar siapa tahu bangunan Stasiun Winongo ada disekitar situ.Belum juga saya menemukan bangunan stasiun. Berjalan beberapa meter akhirnya saya menjumpai bangunan bekas Stasiun Winongo yang tampak kontras dengan perumahan warga. Bangunannya sangat megah dengan gaya arsitektur khas bangunan stasiun tempo dulu.
            Stasiun Winongo terletak didaerah Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul.Seperti stasiun sebelumnya, bangunan stasiun ini didirikan pada tahun 1895 oleh NIS.Dahulu Stasiun Winongo terhubung dengan pabrik gula Madukismo sebagai sarana distribusi gula.Tahun 1973 adalah tahun terakhir stasiun ini beroperasi.Kini bangunan stasiun digunakan warga sekitar sebagai tempat pertemuan.Bangunan ini pernah rusak oleh gempa bumi yang terjadi pada tahun 2006 di Jogja.Akibatnya ada beberapa perubahan yang dilakukan oleh masyarakat saat merenkonstruksi bangunan stasiun. Kini disekitar bangunan stasiun sudah tidak bisa dijumpai lagi bekas alat persinyalan dan rel kereta api.
            Meninggkalkan Stasiun Winongo, saya masih menelusuri jalan kampung yang terduga dulu adalah bekas jalur kereta api menuju Kota Bantul. Jalan kampung yang saya lewati masih berupa jalan tanah yang berpasir.Bekas rel kereta pun sudah tidak ada yang tersisa.Akhirnya saya tiba di titik pertemuan dengan jalan raya.Disana saya menemukan sebuah bekas rel yang berbelok menuju Stasiun Winongo dari arah Kota Bantul tepat diatas sebuah bangunan warung kopi semi permanen.Kondisi relnya pun sudah tidak utuh lagi. Dugaan saya disekitar situ dahulu terdapat sinyal dari Stasiun Winongo.

Rel Berbelok Masuk Menuju Stasiun Winongo

Bekas Jembatan KeretaApi Menuju Stasiun Winongo

Bangunan Rumah Dinas Stasiun Winongo


Bekas Bangunan Stasiun Winongo

Bekas Jalur dari Stasiun Winongo Menuju Kota Bantul

            Perjalanan saya berlanjut menuju Kota Bantul.Dikanan jalan, bekas rel kereta masih banyak yang terlihat. Bahkan dibeberapa titik patok-patok milik kereta api yang terbuat dari potongan besi rel kereta api pun juga banyak saya jumpai. Yang membuat saya heran, kenapa patok yang digunakan sebagai penanda hanya terbuat dari potongan rel kereta, bukan dari beton yang bergambar logo PT. KAI seperti di daerah lain.
            Tak terasa perjalanan saya sampai di daerah Cepit.Disini menurut referensi yang saya dapatkan pernah berdiri sebuah halte kereta bernama Halte Cepit.Lokasinya sendiri diperkirakan berada dekat dengan pos polisi yang ada dipertigaan Cepit.Tapi sayang bangunan halte sendiri kini sudah tidak ada karena telah dirubuhkan.Bekas rel pun juga sudah tidak bisa saya temukan.Hipotesis saya kini bekas lokasi halte telah berubah menjadi kawasan pertokoan.Perjalananpun saya lanjutkan menuju Kota Bantul.

Perkiraan Lokasi Halte Cepit

Memasuki Kota Bantul, suasana kota yang rindang dan teduh langsung menyambut kedatangan saya. Disini saya mencoba menelusuri keberadaan Stasiun Bantul yang menurut catatan saya berada tidak jauh dari lokasi Pasar Bantul. Sambil menikmati keindahan kotayang asri, akhirnya saya tiba di lokasi Pasar Bantul. Saya berhenti sejenak sambil mengamati kondisi sekitar apakah ada bangunan yang menyerupai bangunan stasiun.Pandangan saya tertuju pada sebuah bangunan tua berwarna kuning dengan lubang ventilasi bundar mirip Stasiun Winongo disebelah selatan jalan.Ternyata benar, itu adalah bangunan bekas Stasiun Bantul.
Saya mencoba mendekat ke bangunan stasiun untuk mengambil gambar.Kini bangunan stasiun dimanfaatkan sebagai bengkel motor.Kondisi bangunannya sendiri banyak mengalami kerusakan.Disana saya sudah tidak bisa menjumpai bekas rel kereta karena sudah tertutup dengan aspal jalan.Saya pun bergerak menuju bagian belakang stasiun untuk melihat kondisinya.Ternyata kondisinya juga tak jauh berbeda dengan kondisi emplasemen stasiun, banyak kerusakan terutama dibagian atap yang membuat kesan tak terawatnya bangunan tersebut.

Emplasemen Stasiun Bantul

Bagian Belakang Stasiun Bantul

            Stasiun Bantul didirikan pada tahun 1895 oleh NIS yang terhubung dengan Stasiun Palbapang.Dulu stasiun ini ramai oleh pedagang karena lokasinya sendiri yang berada tak jauh dari Pasar Bantul. Tahun 1973 pemerintah resmi menghentikan layanan perjalanan kereta api di stasiun ini karena sepinya penumpang.
            Hari semakin terik, saya pun segera melanjutkan perjalananmenuju Palbapang untuk mencari lokasi stasiun terakhir yakni Stasiun Palbapang.Sesampainya di Palbapang saya sempat tersesat karena tidak memperhatikan rambu penunjuk jalan.Berkat informasi dari warga yang saya temui dipinggir jalan, akhirnya saya memperoleh informasi dimana lokasi Stasiun Palbapang berada. Diperempatan Palbapang saya sempat menjumpai bekas jalur lori atau decauville yang tersamarkan oleh aspal jalan raya. Saya kurang tahu jalur tersebut milik PG Sewugalur atau milik pabrik gula yang lain.
            Tak jauh dari perempatan Palbapang saya juga menjumpai potongan rel berbelok menuju lokasi stasiun.Sayangnya sebagian besar bekas rel tersebut kini telah tertutup oleh bangunan rumah milik warga.Sambil terus menelusuri jejak tersebut, akhirnya perjalanan saya tiba di Terminal Palbapang yang dulu merupakan bekas Bangunan Stasiun Palbapang yang terletak persis disebelah jalan raya Palbapang - Sewugalur.Dilokasi tersebut kini digunakan sebagai tempat parkir bus.Kondisi bekas bangunan stasiun sendiri masih tampak terawat.Disana saya sudah tidak bisa menjumpai sisa rel kereta.Hal tersebut karena seluruh halaman stasiun kini telah dilapisi dengan aspal.
            Setelah istirahat sejenak diarea stasiun, saya mencoba mencari petunjuk lain yang mungkin bisa saya temukan di sekitaran stasiun. Saya menemukan bekas jalur kereta yang tersamarkan oleh tanah disebuah jalan kampung yang berada tak jauh dari lokasi stasiun.Kondisinya masih utuh. Tak jauh dari lokasi tersebut saya juga menjumpai dua bangunan bekas rumah dinas Stasiun Palbapang yang kini masih dipakai untuk tempat tinggal warga dengan kondisi yang masih terawat dengan baik.
            Seperti stasiun-stasiun sebelumnya, Stasiun Palbapang didirikan oleh NIS pada tahun 1895. Stasiun ini adalah stasiun terminus dari Jogjakarta karena jalur menuju Sewugalur Kulon Progo telah dipreteli oleh Jepang untuk dipindah kedaerah lain. 1973 adalah tahun operasional terakhir stasiun ini yang terpaksa ditutup karena sepinya jumlah penumpang.

Rel Berbelok Menuju Stasiun Palbapang

Bekas Stasiun Palbapang


Stasiun Palbapang 1896
Sumber: kitlv.nl


Bangunan Rumah Dinas Stasiun Palbapang

            Dengan selesainya blusukan saya di Stasiun Palbapang, berarti usai sudah perjalanan saya menyusuri jalur mati di petak Jogja – Palbapang.Sungguh banyak pelajaran yang bisa diambil dalam perjalanan kali ini. Terkait wacana reaktivasi yang sempat diwacanakan oleh pemerintah, menurut saya akan sangat sulit terwujud. Lokasi jalur yang tepat berada disamping jalan raya serta kondisi jalur yang banyak berubah menjadi perumahan warga memberikan kesulitan tersendiri untuk proses reaktivasi. Kalaupun jadi dihidupkan kembali, kecepatan keretapun juga tidak akan bisa maksimal. Terlepas dari masalah direaktivasi atau tidak, yang terpenting adalah bagaimana upaya semua pihak untuk menjaga dan melestarikan peninggalan sejarah yang sangat berharga ini.Hal ini sangatlah penting agar generasi berikutnya tahu dan masih bisa melihat saksi bisu keberadaan kereta di sepanjang jalur Jogja hingga Palbapang.


41 komentar:

  1. di depan koramil gedongtengen juga ada rel yg membelok
    dari arah stasiun tugu, menyeberang ke arah jlagran lor

    jlagran, jlagra adalah profesi tukang batu

    BalasHapus
  2. terima kasih pak atas petunjuknya.

    kebetulan kemarin adalah blusukan pertama saya di jogja. memang sebuah kesulitan tersendiri jika blusukan dilakukan di tengah kota. kesulitan yang sering saya jumpai adalah: ramainya jalan raya, serta banyak petunjuk yang tersamarkan.

    BalasHapus
  3. mas, salut saya dengan hasil blusukannya,kebetulan saya nemu artikel Anda karena di berita sedang ada wacana aktivasi jalur2 kereta tua
    saya orang Jogja jadi penasaran seperti apa jalur tua di kota saya,malah nemu blog anda..
    sayang sekali sudah banyak yg rusak dan lenyap,tapi semoga bisa terwujud kembali transportasi massal KA yg hilang..
    matur nuwun buat blusukannya mas... sukses selalu buat Anda

    BalasHapus
  4. Bagus mas artikel blusukannya. Oh iya, sebenarnya di perempatan Jetis Bantul tahun kemarin masih terlihat jelas bekas persimpangan jalur relnya terutama yg menuju ke barat yg kemudian berbelok ke selatan ke arah Ngentak / lapangan Sumberagung. Tp karena balum lama ini jalan diaspal ulang, jalur relnya sekarang tertutup aspal. Potongan rel yg masih terlihat ada di atas jembatan 300an meter sebelah barat perempatan Jetis. Tepat di samping jalan raya.

    BalasHapus
  5. Perempatan jetis itu apa dekat dengan palbapang itu ya?

    BalasHapus
  6. Perempatan jetis itu apa dekat dengan palbapang itu ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bukan mas, perempatan Jetis jalan Imogiri Barat. Kalo dari perempatan ringroad selatan wojo lurus ke arah selatan, perempatn lampu merah terakhir sebelum pasar mbarongan. Atau kalau lewat jalan parangtritis perempatan lampu merah Manding ambil kiri arah Jetis.

      Hapus
  7. Ow saya kira yang dekat palbapang
    dulu saat blusukan di palbapang saya juga sempat menjumpai bekas jalur lori yang terlihat ditengah2 aspal
    mungkin milik pg sewugalur

    BalasHapus
  8. Saya juga kurang tau mas.
    Sukses terus, di nanti hasil blusukan selanjutnya mas

    BalasHapus
  9. kalo sepanjang jalan dari palbapang ke sewugalur masih ada bekas stasiunnya tidak ya? karena diatas disebutkan "Stasiun Palbapang – Stasiun Bajang - Stasiun Batikan – Stasiun Pekoja – Stasiun Mangiran – Stasiun Srandakan – Stasiun Brosot – Stasiun Pasar Kranggan – Stasiun Sewugalur"

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau setahu saya sudah tidak ada bekasnya. Karena sudah dihancurkan sejak jaman jepang

      Hapus
  10. Saya sudah pernah menikmati naik sepur kluthuk (kereta api uap)dari Ngepal (Palbapang)- Tugu tahun 1964 ketika ada Pasar Malam raya di Alun-alun utara Yogyakarta,dalam rangka mensosialisasikan program pemerintah BERDIKARI (berdiri diatas kaki sendiri) Kala itu saya masih kelas 4 SR. Bersama guru dan teman-teman kelas 4,5, dan 6. menyaksikan ATBM (alat tenun bukan mesin)dan mesin produksi sabun batangan (tong, dan Sunlight. Ya hanya sekali-kalinya saya naik kereta api uap tersebut. 2x (pergi-pulang)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah bapak beruntung sekali...
      pasti pemandangan kala itu dari jendela kereta sangat indah..

      Hapus
  11. Catatan blusukannya menarik ...
    Menginspirasi saya untuk juga turut melakukan napak tilas jalur mati di sekitar Yogyakarta..

    Mungkin dalam waktu dekat saya akan melakukannya... Terima kasih..

    Monggo mampir ke rumah saya: Menggapai Angkasa

    BalasHapus
  12. Trimakasih sudah membaca. Rumahnya mana?

    BalasHapus
  13. Trimakasih sudah membaca. Rumahnya mana?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pajang bang.. Belakang Solo Square..

      Hapus
    2. wah dekat kraton pajang dong...
      besok kalau artikel nya sudah jadi saya di info ya. hehe
      makasih

      Hapus
    3. Adoh bang yen karo Keraton Pajang...

      Btw.., postingan blusukan jalur mati saya sudah jadi..
      Nama njenengan dan blognya pun turut saya cantumkan..

      Monggo mampir dan minta masukannya njih..

      NAPAK TILAS JALUR KERETA API YOGYAKARTA - PALBAPANG

      Hapus
  14. saya juga menemukan bekas gundukan tanah di daerah cepit perempatan stadion sultan agung dulu bekas jalur rel kereta api jaman belanda yg hilang waktu jepang

    BalasHapus
  15. maaf kepek maksud saya arah dari timur ke barat melengkung menuju arah barongan

    BalasHapus
  16. di perempatan kasongan ada cross rail anatara rel nis dengan rel lori

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

      Hapus
  17. Balasan
    1. Terima kasih sudah mampir.
      Kedepan akan saya update jika nelakukan perjalanan luar kota yg ada jalur matinya

      Hapus
  18. Sedikit koreksi ya, untuk halte Dongkelan, saat ini masuk dlm wilayah kelurahan Gedongkiwo (bukan Kedungkiwo).. Anyway salut dg perjuangannya.. Dari Solo berburu smpe ke Jogja..

    BalasHapus
  19. Kalo kereta tebu dekat rumah sy juga ada bekas relnya

    BalasHapus
  20. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  21. Harusnya dibangkitkan lagi ya, lha wong sekarang jogja sdh jadi kota wisata

    BalasHapus
  22. Sangat membantu tulisannya mas, jika bersedia mohon info kontaknya mas sekedar ingin berdiskusi hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wa: 085725571790
      Instagram @primautama
      Fb: prima utama

      Artikel dipetak jalur ini akan saya update kedalam 2 artikel. Ditunggu ya ....

      Hapus
  23. Mantap catatan hasil mblusukannya mas!

    Bekas rel dari Stasiun Tugu ke arah Ngabean sebenernya masih ada di depan koramil Gedongtengen. Relnya nyebrang jalan Jlagran lor terus masuk ke gang. Dari mulai masuk gang itu sampai ketemu jalan raya lagi relnya masih kelihatan jelas.

    Bangunan Stasiun Dongkelan yang asli sebenarnya sudah nggak ada mas. Bangunan yang ada sekarang itu dibangun sekitar tahun 2006, mungkin tujuan dibuatnya sebagai "monumen" Stasiun Dongkelan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya betul. Diartikel saya sdh saya jelaskan bahwa bangunan stasiun merupakan replika. Karena bangunan aslinya sdah terbakar. Terima kasih atas tambahannya

      Hapus
  24. pemberitahuan:
    halte cepit tidak ada coba cari di wikimapia.org

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jaman belanda kan hanya berupa stoplas.

      Hapus
  25. Di jalan suryowijayan itu masih ada bekas relnya, dari jalan rayanya disebrang TOKO TIGA masuk gang sedikit, ada pasar pagi yang berdiri diatas rel,(sampai sekarang masih keliatan) saya orang situ dulu diceritain mbah saya

    BalasHapus
  26. saya pernah lihat jembatan tua dekat Brosot, apakah itu jembatan kereta api?

    BalasHapus
  27. Bisa jadi jembatan kereta api. Bisa jadi jembatan lori tebu

    BalasHapus
  28. Saya ikut menyimak,sisi2 sejarah saat ini semakin terkikis.

    BalasHapus
  29. Wah mantap, saya bukan orang Jogja. saya kemarin melewati jalan Parangtritis heran kok ada bekas rel. Akhirnya pertanyaan saya terjawab sudah di blog ini 🙏

    BalasHapus